K.H. Shochibul Munir, Sang Penerang dari Pecangaan
- Minggu, 06 Juli 2025
- Tokoh
- Administrator
- 0 komentar
Masa Kecil yang Penuh Arti
K.H. Shochibul Munir lahir di Pecangaan, Jepara pada tanggal 25 Maret 1926. Beliau anak kedua dari empat bersaudara yang lahir dari pasangan suami-istri bernama Dasuki dan Siti Fathmah. Beliau tumbuh dan berkembang dalam kesederhanaan. Untuk menafkahi keluarga, ayah beliau bekerja serabutan. Sedangkan sang ibu mengasuh buah hatinya dengan penuh kasih sayang.
Nuansa religius sangat kental dalam keluarga beliau. Ketaatan dalam menjalankan syariat agama, betul-betul ditanamkan sejak dini. Bukan hanya kepada beliau, tetapi juga kepada saudara lainnya. Mbah Dasuki dibantu sang istri, mengumpulkan anak-anak dan remaja di sekitar rumahnya untuk diajari ngaji Al-Qur’an. Hal itu dilakukan setiap sore hingga malam hari di rumahnya.
Sebagaimana anak-anak pada umumnya, masa kecil K.H. Shochibul Munir diisi dengan bermain bersama para sahabatnya di kampung. Namun, kedisiplinan yang ditanamkan oleh kedua orang tua, membuat Shochibul Munir kecil tidak pernah melalaikan waktu untuk salat dan mengaji. Bahkan, semangatnya untuk mendalami Al-Qur’an sudah terlihat sejak kecil. Oleh ayahnya, beliau disuruh berguru kepada Mbah Sya’roni (Pecangaan Wetan) untuk belajar bacaan Al-Qur’an. Mbah Sya’roni merupakan kakak kandung Ibu Siti Fathmah. Memiliki semangat dan kecerdasan yang tinggi, beliau menjadi salah satu murid kesayangan sang paman.
Perjalanan Pendidikan yang Penuh Makna
Saat memasuki usia sepuluh tahun, K.H. Shochibul Munir mengutarakan keinginannya untuk mondok. Kedua orang tuanya tentu saja mengizinkan. Mereka justru sangat senang melihat antusias putranya untuk belajar ilmu agama di pesantren. Hanya saja, waktu itu ayah beliau memberi syarat, jika mau mondok harus khitan terlebih dahulu. Akhirnya, ketika berusia 15 tahun, keinginan beliau bisa terwujud. Setelah lulus dari Sekolah Rakyat (setara dengan Sekolah Dasar di era sekarang) beliau mondok di pondok pesantren milik K.H. Abdullah Salam, Kajen, Pati.
Selama kurang lebih sepuluh tahun, K.H. Shochibul Munir menuntut ilmu di Kajen. Selain mendalami kitab-kitab, di sana beliau juga belajar menghafal Al-Qur’an. Selama di Kajen, beliau sangat akrab dengan cucu K.H. Abdullah Salam bernama Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz, yang kemudian dikenal dengan sebutan K.H. Sahal Mahfudz (mantan Rais Aam PBNU dan Rektor INISNU Jepara).
Pada tahun 1946, beliau boyongan dari Kajen. Merasa ilmu yang dipelajari belum cukup, K.H. Shochibul Munir melanjutkan ngaji dengan K.H. Yasin di Jekulo, Kudus. Beliau satu angkatan dengan K.H. Ahmad Basyir (Jekulo, Kudus). Selain itu, beliau juga sempat menimba ilmu di Pesantren Bendan, Kudus yang diasuh oleh K.H. Raden Asnawi.
Membina Rumah Tangga dan Menekuni Usaha
Melihat K.H. Shochibul Munir yang sudah matang secara usia dan keilmuan, banyak yang ingin menjadikan beliau sebagai menantu. Salah satunya adalah teman beliau ketika mondok yang bernama Masudi. Beliau ingin dijodohkan dengan keponakan Masudi yang bernama Chosyi’ah. Gayung pun bersambut. K.H. Shochibul Munir setuju dan akhirnya menikah pada tanggal 5 Desember 1952 (berdasarkan duplikat Akta Nikah yang dikeluarkan oleh KUA Pecangaan).
Setelah menikah, beliau tinggal bersama istrinya di desa Robayan kecamatan Kalinyamatan (waktu itu masih wilayah kecamatan Pecangaan). Sebagai seorang suami dan kepala rumah tangga, rasa tanggung jawab dan kegigihannya dalam mencari nafkah mulai terketuk. Meskipun bergelar santri lulusan pesantren, tetapi beliau memiliki jiwa entrepreneurship yang luar biasa.
K.H. Shochibul Munir merintis usaha produksi kecap dan sirup. Usaha itu beliau jalankan bersama sang istri di rumah. Di samping itu, beliau juga mempunyai kios di pasar Pecangaan. Di sana, beliau berjualan kitab dan minyak wangi. Kios beliau termasuk salah satu yang paling laris. Pelanggannya tidak hanya dari wilayah Pecangaan, tetapi banyak yang berasal dari luar daerah. Salah satu keunggulan beliau dalam berjualan adalah mampu menyampaikan intisari dari kitab-kitab yang beliau jual. Pembeli pun merasa terbantu dan senang belanja di kios beliau.
Perjuangan Menulis Kitab I’anatun Nawahidh
Kesibukan K.H. Shochibul Munir dalam menekuni usaha, tidak membuatnya lalai untuk berdakwah dan mengamalkan ilmu yang dimiliki. Selain berdakwah di majelis-majelis pengajian dan mengajar di madrasah, beliau juga bercita-cita untuk menulis kitab. Menjelang kelahiran putra keempat, beliau mulai menulis kitab yang khusus membahas ilmu faraid.
Setelah anak keempat lahir, beliau memberinya nama Saifin Nuha yang berarti pedang kecerdasan. Pemberian nama tersebut sekaligus doa agar beliau diberikan kecerdasan oleh Allah Swt, sehingga bisa segera menyelesaikan penulisan kitab.
Setelah kurang lebih tiga tahun, akhirnya pada tahun 1965 beliau dapat menyelesaikan penulisan kitab tersebut. Di tahun yang sama, anak kelima beliau lahir dan diberi nama Zaid Farid. Nama tersebut terinspirasi dari nama sahabat Rasulullah yang juga ahli ilmu faraid, yakni Zaid bin Tsabit. Meskipun kitab beliau selesai ditulis pada tahun 1965, tetapi baru diterbitkan pertama kali pada tahun 1977. Kitab yang berjudul I’anatun Nawahidh tersebut diterbitkan oleh Penerbit Ma’arif dari Bandung.
Kitab I’anatun Nawahidh karya K.H. Shochibul Munir kemudian menjadi rujukan para santri dan pelajar hampir di seluruh Indonesia. Sampai tahun 1987, kitab I’anatun Nawahidh telah dicetak sebanyak tiga kali. Selama itu pula K.H. Shochibul Munir menerima royalti dari penerbit atas buah pemikiran beliau, sampai akhirnya hak cipta kitab tersebut dibeli oleh penerbit Ma’arif.
Sosok Karismatik yang Dikagumi Masyarakat
K.H. Shochibul Munir adalah salah satu tokoh penting dalam pengembangan pendidikan agama di Jepara. Khususnya di wilayah Pecangaan. Beliau dikenal sebagai sosok yang ramah, bijaksana, dan memberikan yang terbaik untuk umat. Tidak heran jika nama beliau begitu dihormati di berbagai kalangan masyarakat. Selain berdakwah dan mengajar, beliau juga sempat aktif menjadi pengurus di Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Pecangaan.
K.H. Shochibul Munir juga menjadi kawan K.H. Mahfudz Asymawi dalam bertukar pikiran. Banyak gagasan di bidang keagamaan, pendidikan, dan kemasyarakatan yang lahir dari buah pemikiran beliau berdua. Salah satunya adalah berdirinya Yayasan Walisongo Pecangaan yang digagas oleh beliau berdua bersama beberapa tokoh lain di wilayah kecamatan Pecangaan.
Karisma K.H. Shochibul Munir begitu melekat dan menginspirasi banyak orang, termasuk murid-murid beliau. Dr. Mahalli, M.Pd., dosen UNISNU Jepara memberi kesaksian bahwa K.H. Shochibul Munir merupakan teladan untuk sikap disiplin. Kepada muridmuridnya, beliau selalu menanamkan pentingnya disiplin, terutama disiplin waktu. Tidak hanya dengan kata-kata, beliau juga memberikan contoh langsung dengan tindakan. Ketika mengajar dan menghadiri rapat di sekolah, beliau selalu hadir tepat waktu sesuai jadwal.
Selain menanamkan kedisiplinan, K.H. Shochibul Munir juga selalu menekankan pentingnya akhlak bagi para santri. Khususnya akhlak dalam berinteraksi dengan guru dan menjaga nama baik almamater. Menurut pandangan Dr. Mashudi, M.Ag., ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Jepara, K.H. Shochibul Munir adalah guru sejati. Beliau merupakan sosok yang alim (khususnya dalam bidang fikih), panutan, dan nyepuhi. Guru yang tidak hanya mengajarkan dengan lisan, tetapi juga mendidik dengan keteladanan. Mahalli dan Mashudi adalah dua dari sekian banyak murid yang telah merasakan secara langsung karisma beliau sebagai seorang guru sejati.
Akhir Hayat Sang Penerang
Dalam bahasa Indonesia, Shochibul Munir bisa diartikan sebagai pemilik cahaya atau sang penerang. Tidak hanya tersemat dalam nama, sosok beliau benar-benar menjadi cahaya penerang bagi para murid dan masyarakat. Termasuk kitab I’anatun Nawahidh, buah pemikiran beliau yang mampu menjadi penerang bagi mereka yang mencari rujukan dalam hal pembagian harta warisan.
Pada tahun 2004, di usianya yang memasuki 78 tahun, sang penerang itu telah pulang ke rahmatullah. Selama menikah dengan Nyai Chosyi’ah, beliau dikaruniai delapan anak. Empat orang laki-laki dan empat orang perempuan.
Putra beliau yang keempat, Saifin Nuha, merupakan seorang aktor yang pernah membintangi beberapa film Indonesia. Aktor yang lebih dikenal dengan nama Alex Komang tersebut, bahkan pernah meraih penghargaan Piala Citra sebagai pemeran utama pria terbaik dalam Festival Film Indonesia tahun 1985 di Bandung. Sementara itu, putra beliau yang terakhir, Ainun Najib, S.Pd.I, saat ini menjabat sebagai Kepala Madrasah Aliyah Walisongo Pecangaan.
Kepada anak-anaknya, beliau berpesan agar selalu berpegang teguh pada ajaran agama. “Ojo nganti lali ngibadah lan ninggal ngaji.” begitu pesan beliau sebagaimana ditirukan putranya, Zaid Farid.
Keysa Verlyta Amanda (Siswa MA Walisongo)
Lomba PORSEMA XIII tahun 2025 - Penulisan Biografi Tokoh NU Lokal