Cakap Digital, Luhur Bermedia: Jejak Santri di Era Digital
- Senin, 14 Juli 2025
- Administrator
- 0 komentar
Saat ini kita hidup di era revolusi 4.0 yaitu era di mana semua informasi dapat diperoleh dengan real-time dan cepat dimana saja dan kapan saja. Para pakar mendefinisikan dunia saat ini dengan The World is Flat (Friedman, 2005) dunia tidak terbatas pada batas-batas negara dan zona waktu karena perkembangan teknologi yang berkembang saat ini.
Kecepatan dan perekembangan teknologi digital di dunia saat ini akhirnya memunculkan budaya baru. Penyebaran informasi menjadi serba cepat, begitu juga berbagai lini kehidupan sudah mulai membelah diri tidak hanya di dunia nyata, tetapi juga dunia maya (digital). Buku, Koran, majalah, bahkan kitab suci pun sudah tersedia dalam bentuk digital. Sementara di saat yang sama kemaksiatan juga akhirnya tersedia dalam bentuk digital bahkan sangat mudah diakses. Contohnya pornografi, berita hoaks dan fitnah, penipuan, judi, dan kejahatan digital lainnya.
Dari semua budaya digital yang muncul, salah satu yang paling berpengaruh adalah ketergantungan pada gadget. Menurut laporan Digital Report dari We Are Social bekerja sama dengan Hootsuite (sekarang Meltwater) menyebutkan pada tahun 2024 rata-rata orang Indonesia menghabiskan waktu di depan layar gadget selama 7 jam 38 menit per hari. Itu hampir sepertiga waktu kita sehari, setara dengan waktu tidur yang dianjurkan. Akibatnya, banyak orang yang terlalu larut dalam dunia maya, mengurung diri dalam keramaian, tapi lupa menumbuhkan sisi yang paling penting dalam diri manusia, yaitu sisi spiritual.
Dalam Islam, platform digital dan media sosial adalah alat, netral dan tidak terikat nilai. Yang kemudian menjadi persoalan adalah bagaimana, kapan, dan untuk apa aja plafrom digital tersebut digunakan. Analogi yang paling mudah adalah mengibaratkan digital platform seperti pisau. Pisau adalah alat yang bersifat netral. Yang menjadi pertimbangan hukum kemudian bukanlah pisaunya, tetapi untuk apa pisau tersebut. Karena selain digunakan untuk memasak, pisau juga bisa jadi digunakan untuk kejahatan. Maka dari itu, santri sebagai generasi pembelajar agama harus melek literasi digital, agar dapat bijak dan tetap memegang nilai.
Literasi digital bukan hanya tentang kecakapan dalam menggunakan teknologi digital seperti hp, computer, AI, dll. Lebih dari itu, literasi digital adalah kemampuan menggunakan teknologi digital secara efektif, aman, beretika, dan bertanggung jawab.
Santri tidak boleh menutup mata terhadap kemajuan teknologi. Justru santri harus mampu beradaptasi dengan memanfaatkan perkembangan ini untuk kebaikan tanpa menghilangkan nilai spiritualitas dalam bermedia digital.
Empat Prinsip Literasi Digital Santri
Agar santri tidak sekadar menjadi pengguna pasif dan tetap berada dalam nilai-nilai moral, berikut 4 prinsip literasi digital yang bisa dipegang:
Pertama, Tabayyun Digital, Santri harus selektif, tidak mudah menelan mentah-mentah sebuah informasi. Santri harus memiliki kebiasaan memeriksa ulang sumber informasi terlebih dulu sebelum membagikan kepada khalayak yang lebih luas. Ini juga sesuai dengan apa yang dikatakan dalam Al-Qur’an surat al Hujurat ayat 6
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا ۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu.
Kedua, Tadabbur Digital, Selain selektif, santri harus mampu mengambil manfaat dari informasi yang didapat. Tidak hanya memenuhi akal, tetapi juga hati dan amal. Santri juga harus bisa mengambil ibrah (pelajaran) dari konten-konten digital untuk meningkatkan kualitas diri.
Ketiga, Tazkiyah Digital, Tazkiyah berarti penyucian. Tazkiyah digital berarti mensucikan dan .membersihkan media-media digital kita dari konten-konten dan informasi yang dapat menjauhkan diri dari Allah. Di antaranya adalah dengan meng-unfollow akun-akun toxic dan memblok konten-konten negatif. Hal ini penting karena di dunia digital, apa yang kita tonton menjadi cerminan diri kita.
Keempat, Dakwah digital, santri harus menjadikan teknologi sebagai ladang dakwah. Semangat berdakwah saat ini tidak hanya di mimbar, tetapi juga di genggaman HP. Hampir semua orang berselancar di dunia maya; maka sudah saatnya dakwah pun menyesuaikan. Sebarkan kebaikan, ajak pada kebenaran, dan tinggalkan jejak digital yang bermanfaat.
Walhasil, empat prinsip ini diharapkan mampu membuat santri bukan hanya cakap menggunakan teknologi, tetapi juga mampu menyalurkan kecakapan itu untuk menjaga akhlak serta menyebarkan nilai-nilai keislaman.
Semoga kita tidak hanya sekadar hadir di dunia maya, tetapi juga mampu menebar cahaya, menjadi pribadi yang bijak, beretika, dan tetap terhubung dengan Allah, meski jari-jemari kita sibuk berselancar di layar gadget.
ditulis oleh :
M. Sya'dullah Fauzi
(Pendidik di MA WALISONGO)
Referensi:
-
Friedman , T. L. (2005). The World is Flat: A Brief History of the Twenty-first Century. New York, NY: Farrar, Straus, and Giroux.
-
Digital 2024 Global Overview Report, We Are Social & Meltwater. (link: https://wearesocial.com/id/blog/2024/01/digital-2024-5-billion-social-media-users/)