Ruh Guru di Tengah Arus Kecerdasan Buatan
- Selasa, 03 Juni 2025
- Administrator
- 0 komentar
Dalam dunia pendidikan, guru adalah elemen yang tidak bisa dihapuskan, bahkan oleh teknologi secanggih apa pun termasuk kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI). Seiring pesatnya perkembangan teknologi, banyak yang mulai mempertanyakan apakah peran guru kelak akan tergantikan oleh AI. Saya sendiri meyakini, hal itu sangat sulit terjadi untuk tidak mengatakan mustahil.
Guru memiliki peran yang sentral dan esensial. Ia bukan sekadar fasilitator pembelajaran, tetapi juga pembawa ruh pendidikan. Dalam tradisi pendidikan Islam, terutama di lingkungan pesantren, kita mengenal konsep barokah-suatu keberkahan yang menjadi kunci keberhasilan pembelajaran, bukan semata karena kepandaian teknis, tetapi karena adanya nilai-nilai moral-spiritual yang mengalir dari guru kepada murid.
Barokah bukanlah konsep mistik tanpa usaha. Secara etimologis, kata “barokah” (البركة) dalam bahasa Arab berarti ziyādah al-khayr-bertambahnya kebaikan. Dalam konteks pendidikan, barokah bisa dipahami sebagai anugerah Allah berupa keberhasilan dalam transfer of value dari guru kepada murid. Proses ini menuntut kesiapan lahir dan batin dari kedua belah pihak-baik yang memberi maupun yang menerima ilmu.
Murid tidak cukup hanya hadir secara fisik di ruang kelas, tetapi juga harus membuka jiwanya untuk menerima nilai. Demikian pula guru, ia tidak hanya hadir secara ragawi, melainkan juga menghadirkan ruhnya. Jika guru hanya menghadirkan tubuhnya, maka yang terjadi hanyalah transfer of knowledge belaka belum sampai pada transfer of value, padahal di situlah letak ruh pendidikan yang sejati.
Seperti pepatah Arab yang populer mengatakan:
الطريقة أهم من المادة، والمدرس أهم من الطريقة، وروح المدرس أهم من المدرس
“Metode lebih penting dari pada materi pelajaran, guru lebih penting dari metode, dan ruh guru lebih penting dari guru itu sendiri.”
Kutipan ini menegaskan bahwa sebaik apa pun materi atau metode pembelajaran, kehadiran ruh seorang guru tetap menjadi kunci utama keberhasilan pendidikan.
Di sisi lain, AI terus berkembang. Berbagai informasi dan pengetahuan kini mudah diakses hanya dengan sentuhan jari. Di bidang logika dan informasi, bisa jadi AI bahkan lebih cepat dan akurat daripada manusia. Namun, AI tetaplah benda mati. Ia tidak memiliki ruh, tidak mampu memahami konteks spiritual, dan tidak bisa menanamkan nilai moral. AI mungkin bisa memberikan pengetahuan, tetapi tidak bisa membentuk karakter.
Karena itu, kita perlu mengubah sudut pandang: AI bukanlah pengganti guru, melainkan alat bantu. AI hanya sarana untuk mempermudah pencarian informasi, mempercepat proses belajar, atau mendukung pelaksanaan tugas. Tetapi sumber utama pendidikan tetap manusia terutama guru.
Di tengah arus teknologi ini, guru justru harus menjadi pionir perubahan. Bukan tergerus zaman, melainkan menaklukkannya. Guru perlu terus meng-upgrade keterampilan, membuka diri terhadap inovasi, dan kreatif dalam menggunakan teknologi. Guru yang berhenti belajar akan tertinggal, dan bahkan kehilangan makna kehadirannya.
Faktanya, saat ini sebagian siswa lebih nyaman bertanya kepada ChatGPT dibandingkan kepada gurunya sendiri. Mereka lebih senang belajar lewat YouTube atau TikTok ketimbang menyimak guru yang monoton. Ini bukan ajakan untuk ikut-ikutan tren (FOMO), melainkan panggilan untuk beradaptasi tanpa kehilangan prinsip. Melawan arus besar hanya akan membuat kita tenggelam. Maka, kita perlu menyiapkan “kapal” untuk menaklukkan gelombang zaman dengan terus belajar dan meningkatkan kualitas diri.
Jangan biarkan sekolah menjadi ruang formalitas yang membosankan. Guru harus mereposisi kelas sebagai ruang yang bermakna. Tempat di mana tidak hanya ilmu ditanamkan, tetapi nilai, karakter, dan ruh kemanusiaan dibentuk.
Dan ingat, setiap bangun tidur, dunia selalu memperkenalkan teknologi AI yang baru. Sementara kita, sebagai guru, jangan sampai tertidur pulas di tengah gegap gempita zaman ini. Karena di tengah derasnya arus kecerdasan buatan, ruh guru adalah pelita yang tak tergantikan.
ditulis oleh :
M. Sya'dullah Fauzi
(Pendidik di MA WALISONGO)